Anomali Kebebasan Berekspresi di Negara Demokrasi

Film Aum! adalah segelintir dari deretan film indonesia yang membawa nuansa perjuangan reformasi di tahun 1998. Pergulatan batin seoarang Adam, Militer yang diminta untuk menumpas para aktivis pergerakan yang tak lain adiknya sendiri, Satriya. 

Satriya (Jefri Nichol) berlari diantara baju-baju yang menggantung di rumah susun. Sesekali ia bersembunyi dibalik dinding menghindari kejaran para militer. Suasana semakin mencekam tatkala dua lelaki berbaju hitam dari lantai atas menyeru akan menghabisi Satriya. Ditengah usahanya  untuk melarikan diri, Adam (Aksara Dena) lebih dulu memukul wajah Satriya sebelum kawan-kawannya menikam sang adik. 

Kemudian scene berganti ketika Adam dan Satriya sedang di mobil menuju ke suatu tempat. Selama perjalanan, Satriya selalu berusaha kabur tetapi Adam dengan sigap membawa kembali Satriya masuk ke dalam mobil. Adam kembali meyakinkan adiknya bahwa waktu yang mereka miliki tak banyak dan apa yang Adam lakukan ini demi keselamatan mereka. 

Kesan menegangkan rupanya hanya di menit-menit awal saja. Lalu apakah saya menyesal menghabiskan satu jam lebih untuk menonton film ini? tidak juga. Nyatanya film ini justru sukses mengobral cerita jenaka walaupun pembahasannya cukup serius, menyoal kebebasan berbendapat di era orba. Hal itu diperlihatkan saat memasuki bagian kedua, penonton disuguhkan perjuangan mahasiswa yang ingin membuat film untuk menyampaikan seruan reformasi di tengah sempitnya kebebasan berekpresi kala itu. Lika-liku dibalik pembuatan film berjudul Pulang karya Panca (Chicco Jerikho) yang ternyata menjadi pembuka dalam film Aum! ini. 

Film karya Bambang Ipoenk ini memang menyajikan suasana yang berbeda diantara film sejenis yang mengangkat peristiwa 1998 dengan sentuhan dramatis. Justru, sutradara menyuguhkan cerita yang terkesan sederhana dari lingkungan terdekat seperti ikatan keluarga antara Satriya dan Adam. Melalui pendekatan itulah yang membuat penonton semakin relate dan terbayang kacaunya suasana Indoensia kala itu.

Melalui film ini Bambang juga menghadirkan behind the scene film garapan Panca beserta wawancara kru  atau yang biasa dikenal dengan film mockumentary. Sebuah genre film yang memiliki posisi diantara film fiksi dan film dokumenter. Senada dengan hal itu menurut Rhodes dan Spinger, mockumentary adalah karya fiksi secara utuh namun mengaplikasikan visual dokumenter secara lebih dekat. Penonton dibuat merasa seolah-olah sedang menyaksikan film dokumenter yang menceritakan sebuah fenomena tertentu namun cerita didalamnya hasil karangan. 

Penonton diperlihatkan sosok Panca, sutradara idealis beradu dengan Linda (Agnes Natasya Tjie) sebagai produser yang terkesan tegas dan sangat menghendaki reformasi. Perbedaan visi diantara keduanya membuat suasana tak nyaman dan masalah terus bergulir selama menggarap film ini. Namun pada beberapa adegan juga diwarnai gelak tawa. Adu mulut yang terjadi antara Panca dan Linda menyoal seni dan segala keestetikannya. Begitu juga dengan tingkah banyol para kru namun berhasil menggambarkan realitas kehidupan filmmaker dengan sangat natural. 

Sentuhan visual yang dihadirkan Bambang dalam film ini juga turut membangun suasana 90-an. Hal itu ditandai dengan pemilihan rasio 4:3 yang dipadu padankan dengan tekstur noise sebagai ciri khas kamera analog. Selain itu, pemilihan font yang terkesan sederhana juga mengingatkan kita pada film era tersebut. 

Film terbaru Bambang tidak hanya sebagai bentuk kritik atas peristiwa kelam pada orde baru. Seolah ia mempertanyakan kembali makna kebebasan berekspresi di tengah negara demokrasi ini. Jika kita menarik ke belakang berdasarkan sejarah, perjalanan demokrasi di Indonesia melalui jalan yang tidak mudah. Sebab negeri ini mengalami berbagai percobaan pelaksanaan sistem demokrasi. Mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin hingga menganut demokrasi pancasila. Bahkan setelah reformasi tercapai, perjalanan demokrasi pun masih terseok-seok.

Demokrasi politik secara prosedural memang berkembang pesat, namun belum seutuhnya membawa hasil yang diharapkan. Masih banyak bolong sana-sini. Dewasa ini pun diskusi tentang demokrasi masih terus berlanjut. Sebagimana Bambang dalam film ini membuat beberapa adegan yang melahirkan diskusi menganai arti demokrasi. Misalnya adegan Linda yang sangat berhati-hati memantau gerak-gerik krunya yang sedang melakukan produksi, memastikan semua aman dan jauh dari pantauan militer. Hal itu menunjukkan bahwa bukan hal mudah di negeri ini untuk bebas berekspresi.

Sementara itu pula diperlihatkan pertengkaran antara Panca dan Linda yang sama-sama kuat, tak ada yang mau kalah dan tak jua menemukan titik terang hingga berujung kacau. Sejatinya demokrasi bisa dimulai dari setiap individu, mengawali dari hal-hal kecil seperti membiasakan menerima perbedaan dan mengembangkan sikap toleransi sesama manusia.

Artikel ini ditulis oleh Rafika Ilma Rizkyana Penulis merupakan mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta 2018 dan anggota aktif Avikom

AVIKOM FILM

AVIKOM FILM

Leave a Reply

Jl. Babarsari, Janti, Caturtunggal, Kec. Depok, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
089517891709

avikom.upnyk@gmail.com