Selama kurang lebih 20 tahun semenjak masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas), RUU Masyarakat Adat masih menjadi pertanyaan dan janji yang ditagih oleh masyarakat. Penundaan pengesahan RUU ini sejatinya telah membuat kerugian besar bagi masyarakat terdampak. Di sisi yang paling buruknya, banyak sekali anggota masyarakat yang terkena kriminalisasi akibat memperjuangkan haknya tersebut.
Isu Masyarakat Adat dalam Film
Isu masyarakat adat ini kemudian diangkat dalam medium film lewat Tale of the Land (2024) yang ditulis dan disutradarai oleh Loeloe Hendra. Saat pemutaran di JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) ke-19, beliau mengaku bahwa proyek film ini sudah dikembangkan sejak delapan tahun lalu. Dengan fakta tersebut dan bagaimana relevansinya dengan kondisi hari ini, kita dapat melihat betapa lalainya pemerintah kita dalam memenuhi hak-hak asasi masyarakat adat.
Sinopsis Singkat
Film yang dibintangi Shenina Cinnamon ini bercerita mengenai May, seorang perempuan Dayak yang yatim piatu dan tinggal bersama kakeknya, Tuha (Arswendy Bening Swara Nasution) di sebuah rumah terapung di tengah perairan. Ia kehilangan orang tuanya ketika terjadi sebuah konflik lahan. Berbekal trauma tersebut, May tidak bisa kembali ke daratan.
Pendekatan Cerita dan Visual
Loeloe Hendra meracik dan mengembangkan sebuah premis yang menarik. Ide cerita yang sarat akan kritik ini kemudian dipadatkan menjadi sebuah narasi dengan pendekatan yang slow paced. Gaya bertutur yang demikian berhasil membuat film berdurasi 98 menit ini memperlihatkan segala aspeknya secara mendetail, mulai dari konflik karakternya hingga bahasa visual yang digunakan.
Simbolisme dan Elemen Surreal
May hadir sebagai sebuah simbol akan trauma kolektif masyarakat adat yang lahannya digerus demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Film ini mengkonstruksi trauma tersebut dengan cara yang surreal, yakni karakter May dibuat tidak sadarkan diri setiap ia menginjakkan kakinya di daratan. Supaya May dapat bangun, telapak kakinya harus dilumuri oleh darah ayam hitam (atau sering disebut ayam cemani). Dalam kebudayaan Dayak sendiri, ayam cemani memang kerap digunakan untuk ritual pengobatan. Melalui pendekatan tersebut, Loeloe telah memperkaya substansi film ini dengan mengangkat sisi kultural adat Dayak.
Aspek Teknis yang Memukau
Berbicara mengenai teknis, Tale of the Land juga memberikan pengalaman menonton yang unik. Warna visual yang cenderung kalem dan gloomy di beberapa bagian mendukung mood cerita yang sama kelamnya. Arah kamera pun akan membawa kita pada indahnya perairan Kalimantan. Tak lupa, efek suara yang ditampilkan juga memperkuat kesan surreal pada adegan-adegannya.
Bagian favorit penulis terletak pada perpaduan antara elemen surealisme dan budayanya. Elemen-elemen tersebut melebur dalam beberapa adegan dan memberikan ruang bagi kita sebagai penonton untuk memaknai sendiri apa yang ingin disampaikan sutradara lewat adegan-adegan tersebut. Penulis juga menyukai bagaimana kepekaan sutradara dalam menanggapi isu masyarakat adat ini lewat narasi dan dinamika para karakternya.
Akhir kata, Tale of the Land adalah debut penyutradaraan film panjang yang matang dari Loeloe Hendra. Proses pembuatan filmnya selama delapan tahun dan usaha untuk syuting dengan latar 90% di perairan terbukti cukup memuaskan dan menyentuh sisi emosional penulis. Selain itu, film ini juga dapat menjadi pengingat bagi kita bahwa ada hak-hak masyarakat adat yang harus terus kita suarakan dan perjuangkan.
Artikel ini ditulis oleh Marcel Abraham Siahaan, email: popncul@gmail.com